Kekayaan Keluarga Soeharto Part 2.
Kekayaan Keluarga Soeharto Part 2.
HARAPAN YANG BESAR
Bagaimana perusahaan keluarga Suharto mendapatkan kekayaan dan kekuatannya; dan memperpanjang impian jutaan orang Indonesia lainnya? Ketika Suharto menjadi Presiden pada tahun 1967, gabungan yang unik antara kekuatan dan kepintaran politik orang Jawa telah terwujud.
Penyingkiran kehidupan presiden Sukarno, nasionalis pendiri negara, terlaksana selama dua tahun dengan disertai pembersihan anti-komunis yang memakan korban sebanyak lebih dari 500.000 orang. Namun Suharto, seorang jenderal yang tidak dikenal dari sebuah desa di pelosok Jawa Tengah, mengawalinya dari sebuah kehidupan yang tampaknya sederhana. Ia dan istrinya Siti Hartinah (Ibu Tien) pada awalnya hidup di rumah peristirahatan yang sederhana di daerah Menteng, Jakarta dan biasa mengendarai Ford Galaxy.
Hal inilah yang menandai perbedaan yang kontras antara dia dengan Sukarno, yang dengan gaya hidup bak seorang raja, dengan istana megah kepresidenannya dan istri ketiganya yang glamour Dewi, yang sebelumnya sebagai penyanyi Jepang di night club Cobacabana di Tokyo. Akan tetapi di balik topengnya, sesungguhnya Suharto telah menunjukkan awal kesukaannya untuk menghasilkan uang.
Di tahun 1950an, ia diduga terlibat dengan sengaja dalam penyelundupan gula dan kegiatan extra-militer lainnya di Jawa Tengah, yang menyebabkannya kehilangan kedudukan sebagai panglima KODAM Diponegoro ketika terjadi gerakan anti korupsi di tahun 1959. Dalam otobiografinya, Suharto menegaskan bahwa ia menukar gula untuk mendapatkan beras, dalam upaya mengatasi kekurangan pangan lokal dan secara pribadi ia tidak mendapatkan keuntungan darinya. Pada akhirnya, pihak militer memindahkan Suharto ke posisi yang tidak memiliki pengaruh kuat yaitu di sekolah staf angkatan bersenjata di Bandung, Jawa Barat.
Pada tahun 1966, bisnis keluarga Suharto mulai terbentuk. Ketika menjadi pejabat Presiden, Suharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 8 untuk merampas dua konglomerasi yang dikuasai Sukarno yang memiliki aset sebanyak $ 2 milyar. Konglomerasi tersebut kemudian menjadi PT Pilot Project Berdikari, di mana Suharto menempatkan pengelolaannya di bawah Achmad Tirtosudiro, seorang pensiunan jenderal yang pada saat ini mengetuai sebuah organisasi muslim yang kuat yang didirikan oleh Presiden Habibie. Perusahaan ini menjadi salah satu jantung utama kerajaan bisnis Suharto.
Keberuntungan presiden mulai melambung bersama-sama dengan beberapa teman dekatnya, yang paling terkenal adalah Liem Sioe Liong dan The Kian Seng, yang lebih dikenal sebagai Mohammad “Bob” Hasan. Di akhir tahun 1969, Suharto memberikan sebagian monopoli — yang pada akhirnya menjadi monopoli penuh — pada barang-barang impor, pabrik penggilingan dan distribusi gandum dan tepung pada PT Bogasari Flour Mills, yang dikuasai oleh Kelompok Salim milik Liem. Bertahun-tahun Liem dikenal sebagai Oom Liem pada keluarga Suharto dan Hasan menjadi orang terpercaya Suharto dari luar kalangan keluarga, yang pada akhirnya memperluas kerajaan bisnisnya sendiri dengan cepat.
Dasar keberuntungan Suharto adalah yayasan kepresidenan. Lusinan yayasan telah didirikan seolah-olah sebagai yayasan amal, dan yang membiayai sejumlah besar rumah sakit, sekolah, dan mesjid. Tetapi yayasan-yayasan tersebut juga merupakan dana raksasa yang tidak resmi untuk investasi proyek-proyek Suharto dan kroninya, maupun untuk mesin politik presiden, yaitu Golkar.
Kekayaan Keluarga Soeharto
Part 2.
HARAPAN YANG BESAR
Bagaimana perusahaan keluarga Suharto mendapatkan kekayaan dan kekuatannya; dan memperpanjang impian jutaan orang Indonesia lainnya? Ketika Suharto menjadi Presiden pada tahun 1967, gabungan yang unik antara kekuatan dan kepintaran politik orang Jawa telah terwujud.
Penyingkiran kehidupan presiden Sukarno, nasionalis pendiri negara, terlaksana selama dua tahun dengan disertai pembersihan anti-komunis yang memakan korban sebanyak lebih dari 500.000 orang. Namun Suharto, seorang jenderal yang tidak dikenal dari sebuah desa di pelosok Jawa Tengah, mengawalinya dari sebuah kehidupan yang tampaknya sederhana. Ia dan istrinya Siti Hartinah (Ibu Tien) pada awalnya hidup di rumah peristirahatan yang sederhana di daerah Menteng, Jakarta dan biasa mengendarai Ford Galaxy.
Hal inilah yang menandai perbedaan yang kontras antara dia dengan Sukarno, yang dengan gaya hidup bak seorang raja, dengan istana megah kepresidenannya dan istri ketiganya yang glamour Dewi, yang sebelumnya sebagai penyanyi Jepang di night club Cobacabana di Tokyo. Akan tetapi di balik topengnya, sesungguhnya Suharto telah menunjukkan awal kesukaannya untuk menghasilkan uang.
Di tahun 1950an, ia diduga terlibat dengan sengaja dalam penyelundupan gula dan kegiatan extra-militer lainnya di Jawa Tengah, yang menyebabkannya kehilangan kedudukan sebagai panglima KODAM Diponegoro ketika terjadi gerakan anti korupsi di tahun 1959. Dalam otobiografinya, Suharto menegaskan bahwa ia menukar gula untuk mendapatkan beras, dalam upaya mengatasi kekurangan pangan lokal dan secara pribadi ia tidak mendapatkan keuntungan darinya. Pada akhirnya, pihak militer memindahkan Suharto ke posisi yang tidak memiliki pengaruh kuat yaitu di sekolah staf angkatan bersenjata di Bandung, Jawa Barat.
Pada tahun 1966, bisnis keluarga Suharto mulai terbentuk. Ketika menjadi pejabat Presiden, Suharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 8 untuk merampas dua konglomerasi yang dikuasai Sukarno yang memiliki aset sebanyak $ 2 milyar. Konglomerasi tersebut kemudian menjadi PT Pilot Project Berdikari, di mana Suharto menempatkan pengelolaannya di bawah Achmad Tirtosudiro, seorang pensiunan jenderal yang pada saat ini mengetuai sebuah organisasi muslim yang kuat yang didirikan oleh Presiden Habibie. Perusahaan ini menjadi salah satu jantung utama kerajaan bisnis Suharto.
Keberuntungan presiden mulai melambung bersama-sama dengan beberapa teman dekatnya, yang paling terkenal adalah Liem Sioe Liong dan The Kian Seng, yang lebih dikenal sebagai Mohammad “Bob” Hasan. Di akhir tahun 1969, Suharto memberikan sebagian monopoli — yang pada akhirnya menjadi monopoli penuh — pada barang-barang impor, pabrik penggilingan dan distribusi gandum dan tepung pada PT Bogasari Flour Mills, yang dikuasai oleh Kelompok Salim milik Liem. Bertahun-tahun Liem dikenal sebagai Oom Liem pada keluarga Suharto dan Hasan menjadi orang terpercaya Suharto dari luar kalangan keluarga, yang pada akhirnya memperluas kerajaan bisnisnya sendiri dengan cepat.
Dasar keberuntungan Suharto adalah yayasan kepresidenan. Lusinan yayasan telah didirikan seolah-olah sebagai yayasan amal, dan yang membiayai sejumlah besar rumah sakit, sekolah, dan mesjid. Tetapi yayasan-yayasan tersebut juga merupakan dana raksasa yang tidak resmi untuk investasi proyek-proyek Suharto dan kroninya, maupun untuk mesin politik presiden, yaitu Golkar.
Menurut George Aditjondro, pengajar Sosiologi di Universitas Newcastle, Australia, terdapat sekitar 79 yayasan yang dikuasai oleh Suharto, istrinya (meninggal tahun 1996), saudara-saudara istrinya dari desa, sepupunya dan saudara tirinya, enam anaknya, keluarga dan orang tua pasangan anak-anak tersebut, orang-orang militer yang dipercaya, dan teman-teman dekat lainnya seperti Habibie, Hasan dan Liem.
“Yayasan-yayasan tersebut membeli berbagai saham, mendirikan berbagai perusahaan, meminjamkan uang kepada para pengusaha,” kata Adnan Buyung Nasution, pengacara yang pada akhir tahun lalu mencoba membentuk komisi independen terhadap kekayaan Suharto. Yayasan menerima “sumbangan”, yang seringkali tidak dalam bentuk sukarela. Diawali di tahun 1978, seluruh Bank milik pemerintah diminta memberikan 2,5 persen keuntungannya untuk Yayasan Dharmais dan Yayasan Supersemar, demikian menurut Jaksa Agung terdahulu Soedjono Atmonegoro.
Keppres no. 92 tahun 1996 memerintahkan bahwa setiap pembayar pajak dan perusahaan yang berpenghasilan $ 40.000 setahun, diharuskan menyumbang 2 % pendapatannya untuk Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, yang dibentuk untuk mendukung program pemberantasan kemiskinan (perintah ini kemudian ditiadakan pada bulan Juli 1998).
Saat ini, pegawai negeri dan anggota militer menyumbang sebagian penghasilan mereka setiap bulannya kepada Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang digunakan Suharto untuk memenangkan dukungan bagi kalangan umat Islam. Sementara “sumbangan” tersebut menjadi bagian besar dari penghasilan yayasan, masih terdapat sumber-sumber keuangan lainnya.
Di tahun 1978, Yayasan Suharto menguasai 60% saham Bank Duta — sebuah Bank swasta terkemuka, kata seorang bekas pejabat Bank Duta. Saham tersebut bertambah secara perlahan menjadi 87 %. Kemudian yayasan-yayasan tersebut menginvestasikannya ke dalam berbagai perusahaan swasta yang didirikan anggota keluarga Suharto dan kroninya. Setelahnya, dengan pertolongan menteri-menteri atau perusahaan milik negara, perusahaan-perusahaan tersebut akan mendapatkan sebuah kontrak atau sebuah monopoli.
Sejak jatuhnya Suharto, yayasan-yayasan tersebut telah menjadi target utama para penyelidik Indonesia. Segera setelah pengunduran Suharto, Jaksa Agung Soedjono menyelidiki pembukuan empat yayasan terbesarnya. Apa yang ditemukannya sungguh mengejutkan. “Yayasan-yayasan tersebut didirikan untuk menyalurkan layanan sosial”, ia mengatakan, “tetapi Suharto menyalurkan uangnya ke anak-anak dan teman-temannya.”.
Soedjono menemukan bahwa salah satu yayasan yang terbesar, Supersemar, telah menyebarkan 84 % dananya pada sasaran yang tidak diketahui, termasuk pinjaman kepada perusahaan milik anak-anak dan teman-temannya. Suharto, sebagai pimpinan, harus menandatangani cek diatas $ 50.000. Sodjono menyampaikan laporan pendahuluan atas temuannya kepada Presiden Habibie Juni lalu. Ia dipecat lima jam kemudian. (Presiden berkata Soedjono dipecat karena ia melewati garis komando untuk masuk masalah yang lain.)
MINYAK DAN TANAH
Dalam dasawarsa pertama masa kekuasaannya, Suharto melalui Ibnu Sutowo menjadikan Pertamina seakan-akan milik pribadinya. Ketika Ibnu Sutowo dipecat di tahun 1976, tidaklah jelas apa sebabnya, apakah karena salah mengelola perusahaan atau karena memiliki ambisi politik yang kelewat besar.
Saat ini, di usianya yang ke 84, Ibnu Sutowo menceritakan kepada TIME mengenai hal tersebut. Menurutnya, tahun 1976 Suharto menyuruhnya mendirikan perusahaan untuk mengangkut minyak mentah Indonesia ke Jepang. “Suharto bilang, saya ingin kamu menarik $ 10 sen untuk setiap barrel yang terjual oleh perusahaan baru itu.” Ibnu Sutowo ingat saat itu. “Ketika saya mengatakan tidak, ia kelihatannya kaget”.
Setelah Ibnu Sutowo dipecat, Pertamina melakukan ekspor dan impor minyak di pertengahan tahun 80-an melalui Perta Oil Marketing dan Permindo Oil Trading, dua perusahaan di mana Tommy dan Bambang memiki saham. Menurut seorang pejabat senior di pemerintahan Habibie, dua perusahaan tersebut menerima komisi sekitar $ 30-35 sen per barrel.
Di tahun fiskal pertama tahun 1997-1998, kedua perusahaan itu menjual rata-rata 500.000 barrel per hari, dengan komisi lebih dari $ 50 juta per tahun. Menurut Subroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi: “Pertamina sebenarnya bisa mengekspor langsung. Dua perusahaan itu sebenarnya tidak dibutuhkan”.
Selanjutnya, seorang mantan mitra bisnis Tommy dan Bambang mengatakan bahwa ‘mark up’ tidak resmi dalam ekspor dan impor minyak telah memberikan dua perusahaan itu sekitar $ 200 juta per tahun selama tahun 1980-an ketika harga minyak bumi tinggi, dan sekitar separuhnya di tahun 1990an.
Keluarga Suharto juga mendapatkan kontrak-kontrak Pertamina untuk asuransi, keamanan, suplai makanan dan jasa-jasa lainnya –170 kontrak secara keseluruhan. Tahun lalu, ketika Suharto jatuh, Pertamina membatalkan banyak kontrak-kontrak tersebut dan mengumumkan bahwa Pertamina berhasil menghemat $ 99 juta per tahun karenanya. Seorang mantan mitra bisnis keluarga Suharto mengatakan: “Mereka memerah Pertamina seperti layaknya sapi”.
Salah satu penghasil uang utama bagi Suharto adalah PT. Nusantara Ampera Bakti, atau Nusamba, didirikan tahun 1981 oleh tiga yayasan Suharto dengan modal $ 1,5 juta bersama Bob Hasan dan Sigit Suharto (masing-masing memperoleh saham 10%).
Perusahaan ini menjadi jaringan besar dengan lebih dari 30 anak perusahaan di bidang keuangan, energi, pulp dan kertas, baja dan otomotif. Jantung Nusamba adalah saham sebesar 4,7 % pada Freeport Indonesia, sebuah perusahaan AS yang merupakan penambang emas terbesar di dunia dengan kegiatan di Papua Barat.
Tahun 1992 tiga yayasan itu memindahkan 80% sahamnya ke Bob Hasan, meskipun tidak jelas berapa banyak yang ia bayar untuk itu. Sampai kini, penyelidik dari pemerintah tidak pernah memeriksa keuangan Nusamba. OC Kaligis, ketua penasehat hukum Suharto mengatakan: “Bila ingin tahu tentang Nusamba, tanya Bob Hasan. Dalam penyelidikan Suharto, Jaksa Agung tidak pernah bertanya soal Nusamba”.
Keluarga Suharto mendapatkan uang tidak saja melalui kontrak-kontrak pemerintah, tetapi juga dari menyusahkan kehidupan orang Indonesia. Ketika Suharto ingin membangun peternakan sapi di Jawa Barat, ia merampas tanah lebih dari 751 ha yang dihuni oleh 5 desa. Menurut pemerintah, ia membayar ganti rugi sebesar $ 5.243. Beberapa penduduk mengatakan, mereka tidak memperoleh ganti rugi apapun.
Sumber : Open Your Mind
HARAPAN YANG BESAR
Bagaimana perusahaan keluarga Suharto mendapatkan kekayaan dan kekuatannya; dan memperpanjang impian jutaan orang Indonesia lainnya? Ketika Suharto menjadi Presiden pada tahun 1967, gabungan yang unik antara kekuatan dan kepintaran politik orang Jawa telah terwujud.
Penyingkiran kehidupan presiden Sukarno, nasionalis pendiri negara, terlaksana selama dua tahun dengan disertai pembersihan anti-komunis yang memakan korban sebanyak lebih dari 500.000 orang. Namun Suharto, seorang jenderal yang tidak dikenal dari sebuah desa di pelosok Jawa Tengah, mengawalinya dari sebuah kehidupan yang tampaknya sederhana. Ia dan istrinya Siti Hartinah (Ibu Tien) pada awalnya hidup di rumah peristirahatan yang sederhana di daerah Menteng, Jakarta dan biasa mengendarai Ford Galaxy.
Hal inilah yang menandai perbedaan yang kontras antara dia dengan Sukarno, yang dengan gaya hidup bak seorang raja, dengan istana megah kepresidenannya dan istri ketiganya yang glamour Dewi, yang sebelumnya sebagai penyanyi Jepang di night club Cobacabana di Tokyo. Akan tetapi di balik topengnya, sesungguhnya Suharto telah menunjukkan awal kesukaannya untuk menghasilkan uang.
Di tahun 1950an, ia diduga terlibat dengan sengaja dalam penyelundupan gula dan kegiatan extra-militer lainnya di Jawa Tengah, yang menyebabkannya kehilangan kedudukan sebagai panglima KODAM Diponegoro ketika terjadi gerakan anti korupsi di tahun 1959. Dalam otobiografinya, Suharto menegaskan bahwa ia menukar gula untuk mendapatkan beras, dalam upaya mengatasi kekurangan pangan lokal dan secara pribadi ia tidak mendapatkan keuntungan darinya. Pada akhirnya, pihak militer memindahkan Suharto ke posisi yang tidak memiliki pengaruh kuat yaitu di sekolah staf angkatan bersenjata di Bandung, Jawa Barat.
Pada tahun 1966, bisnis keluarga Suharto mulai terbentuk. Ketika menjadi pejabat Presiden, Suharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 8 untuk merampas dua konglomerasi yang dikuasai Sukarno yang memiliki aset sebanyak $ 2 milyar. Konglomerasi tersebut kemudian menjadi PT Pilot Project Berdikari, di mana Suharto menempatkan pengelolaannya di bawah Achmad Tirtosudiro, seorang pensiunan jenderal yang pada saat ini mengetuai sebuah organisasi muslim yang kuat yang didirikan oleh Presiden Habibie. Perusahaan ini menjadi salah satu jantung utama kerajaan bisnis Suharto.
Keberuntungan presiden mulai melambung bersama-sama dengan beberapa teman dekatnya, yang paling terkenal adalah Liem Sioe Liong dan The Kian Seng, yang lebih dikenal sebagai Mohammad “Bob” Hasan. Di akhir tahun 1969, Suharto memberikan sebagian monopoli — yang pada akhirnya menjadi monopoli penuh — pada barang-barang impor, pabrik penggilingan dan distribusi gandum dan tepung pada PT Bogasari Flour Mills, yang dikuasai oleh Kelompok Salim milik Liem. Bertahun-tahun Liem dikenal sebagai Oom Liem pada keluarga Suharto dan Hasan menjadi orang terpercaya Suharto dari luar kalangan keluarga, yang pada akhirnya memperluas kerajaan bisnisnya sendiri dengan cepat.
Dasar keberuntungan Suharto adalah yayasan kepresidenan. Lusinan yayasan telah didirikan seolah-olah sebagai yayasan amal, dan yang membiayai sejumlah besar rumah sakit, sekolah, dan mesjid. Tetapi yayasan-yayasan tersebut juga merupakan dana raksasa yang tidak resmi untuk investasi proyek-proyek Suharto dan kroninya, maupun untuk mesin politik presiden, yaitu Golkar.
Kekayaan Keluarga Soeharto
Part 2.
HARAPAN YANG BESAR
Bagaimana perusahaan keluarga Suharto mendapatkan kekayaan dan kekuatannya; dan memperpanjang impian jutaan orang Indonesia lainnya? Ketika Suharto menjadi Presiden pada tahun 1967, gabungan yang unik antara kekuatan dan kepintaran politik orang Jawa telah terwujud.
Penyingkiran kehidupan presiden Sukarno, nasionalis pendiri negara, terlaksana selama dua tahun dengan disertai pembersihan anti-komunis yang memakan korban sebanyak lebih dari 500.000 orang. Namun Suharto, seorang jenderal yang tidak dikenal dari sebuah desa di pelosok Jawa Tengah, mengawalinya dari sebuah kehidupan yang tampaknya sederhana. Ia dan istrinya Siti Hartinah (Ibu Tien) pada awalnya hidup di rumah peristirahatan yang sederhana di daerah Menteng, Jakarta dan biasa mengendarai Ford Galaxy.
Hal inilah yang menandai perbedaan yang kontras antara dia dengan Sukarno, yang dengan gaya hidup bak seorang raja, dengan istana megah kepresidenannya dan istri ketiganya yang glamour Dewi, yang sebelumnya sebagai penyanyi Jepang di night club Cobacabana di Tokyo. Akan tetapi di balik topengnya, sesungguhnya Suharto telah menunjukkan awal kesukaannya untuk menghasilkan uang.
Di tahun 1950an, ia diduga terlibat dengan sengaja dalam penyelundupan gula dan kegiatan extra-militer lainnya di Jawa Tengah, yang menyebabkannya kehilangan kedudukan sebagai panglima KODAM Diponegoro ketika terjadi gerakan anti korupsi di tahun 1959. Dalam otobiografinya, Suharto menegaskan bahwa ia menukar gula untuk mendapatkan beras, dalam upaya mengatasi kekurangan pangan lokal dan secara pribadi ia tidak mendapatkan keuntungan darinya. Pada akhirnya, pihak militer memindahkan Suharto ke posisi yang tidak memiliki pengaruh kuat yaitu di sekolah staf angkatan bersenjata di Bandung, Jawa Barat.
Pada tahun 1966, bisnis keluarga Suharto mulai terbentuk. Ketika menjadi pejabat Presiden, Suharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 8 untuk merampas dua konglomerasi yang dikuasai Sukarno yang memiliki aset sebanyak $ 2 milyar. Konglomerasi tersebut kemudian menjadi PT Pilot Project Berdikari, di mana Suharto menempatkan pengelolaannya di bawah Achmad Tirtosudiro, seorang pensiunan jenderal yang pada saat ini mengetuai sebuah organisasi muslim yang kuat yang didirikan oleh Presiden Habibie. Perusahaan ini menjadi salah satu jantung utama kerajaan bisnis Suharto.
Keberuntungan presiden mulai melambung bersama-sama dengan beberapa teman dekatnya, yang paling terkenal adalah Liem Sioe Liong dan The Kian Seng, yang lebih dikenal sebagai Mohammad “Bob” Hasan. Di akhir tahun 1969, Suharto memberikan sebagian monopoli — yang pada akhirnya menjadi monopoli penuh — pada barang-barang impor, pabrik penggilingan dan distribusi gandum dan tepung pada PT Bogasari Flour Mills, yang dikuasai oleh Kelompok Salim milik Liem. Bertahun-tahun Liem dikenal sebagai Oom Liem pada keluarga Suharto dan Hasan menjadi orang terpercaya Suharto dari luar kalangan keluarga, yang pada akhirnya memperluas kerajaan bisnisnya sendiri dengan cepat.
Dasar keberuntungan Suharto adalah yayasan kepresidenan. Lusinan yayasan telah didirikan seolah-olah sebagai yayasan amal, dan yang membiayai sejumlah besar rumah sakit, sekolah, dan mesjid. Tetapi yayasan-yayasan tersebut juga merupakan dana raksasa yang tidak resmi untuk investasi proyek-proyek Suharto dan kroninya, maupun untuk mesin politik presiden, yaitu Golkar.
Menurut George Aditjondro, pengajar Sosiologi di Universitas Newcastle, Australia, terdapat sekitar 79 yayasan yang dikuasai oleh Suharto, istrinya (meninggal tahun 1996), saudara-saudara istrinya dari desa, sepupunya dan saudara tirinya, enam anaknya, keluarga dan orang tua pasangan anak-anak tersebut, orang-orang militer yang dipercaya, dan teman-teman dekat lainnya seperti Habibie, Hasan dan Liem.
“Yayasan-yayasan tersebut membeli berbagai saham, mendirikan berbagai perusahaan, meminjamkan uang kepada para pengusaha,” kata Adnan Buyung Nasution, pengacara yang pada akhir tahun lalu mencoba membentuk komisi independen terhadap kekayaan Suharto. Yayasan menerima “sumbangan”, yang seringkali tidak dalam bentuk sukarela. Diawali di tahun 1978, seluruh Bank milik pemerintah diminta memberikan 2,5 persen keuntungannya untuk Yayasan Dharmais dan Yayasan Supersemar, demikian menurut Jaksa Agung terdahulu Soedjono Atmonegoro.
Keppres no. 92 tahun 1996 memerintahkan bahwa setiap pembayar pajak dan perusahaan yang berpenghasilan $ 40.000 setahun, diharuskan menyumbang 2 % pendapatannya untuk Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, yang dibentuk untuk mendukung program pemberantasan kemiskinan (perintah ini kemudian ditiadakan pada bulan Juli 1998).
Saat ini, pegawai negeri dan anggota militer menyumbang sebagian penghasilan mereka setiap bulannya kepada Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang digunakan Suharto untuk memenangkan dukungan bagi kalangan umat Islam. Sementara “sumbangan” tersebut menjadi bagian besar dari penghasilan yayasan, masih terdapat sumber-sumber keuangan lainnya.
Di tahun 1978, Yayasan Suharto menguasai 60% saham Bank Duta — sebuah Bank swasta terkemuka, kata seorang bekas pejabat Bank Duta. Saham tersebut bertambah secara perlahan menjadi 87 %. Kemudian yayasan-yayasan tersebut menginvestasikannya ke dalam berbagai perusahaan swasta yang didirikan anggota keluarga Suharto dan kroninya. Setelahnya, dengan pertolongan menteri-menteri atau perusahaan milik negara, perusahaan-perusahaan tersebut akan mendapatkan sebuah kontrak atau sebuah monopoli.
Sejak jatuhnya Suharto, yayasan-yayasan tersebut telah menjadi target utama para penyelidik Indonesia. Segera setelah pengunduran Suharto, Jaksa Agung Soedjono menyelidiki pembukuan empat yayasan terbesarnya. Apa yang ditemukannya sungguh mengejutkan. “Yayasan-yayasan tersebut didirikan untuk menyalurkan layanan sosial”, ia mengatakan, “tetapi Suharto menyalurkan uangnya ke anak-anak dan teman-temannya.”.
Soedjono menemukan bahwa salah satu yayasan yang terbesar, Supersemar, telah menyebarkan 84 % dananya pada sasaran yang tidak diketahui, termasuk pinjaman kepada perusahaan milik anak-anak dan teman-temannya. Suharto, sebagai pimpinan, harus menandatangani cek diatas $ 50.000. Sodjono menyampaikan laporan pendahuluan atas temuannya kepada Presiden Habibie Juni lalu. Ia dipecat lima jam kemudian. (Presiden berkata Soedjono dipecat karena ia melewati garis komando untuk masuk masalah yang lain.)
MINYAK DAN TANAH
Dalam dasawarsa pertama masa kekuasaannya, Suharto melalui Ibnu Sutowo menjadikan Pertamina seakan-akan milik pribadinya. Ketika Ibnu Sutowo dipecat di tahun 1976, tidaklah jelas apa sebabnya, apakah karena salah mengelola perusahaan atau karena memiliki ambisi politik yang kelewat besar.
Saat ini, di usianya yang ke 84, Ibnu Sutowo menceritakan kepada TIME mengenai hal tersebut. Menurutnya, tahun 1976 Suharto menyuruhnya mendirikan perusahaan untuk mengangkut minyak mentah Indonesia ke Jepang. “Suharto bilang, saya ingin kamu menarik $ 10 sen untuk setiap barrel yang terjual oleh perusahaan baru itu.” Ibnu Sutowo ingat saat itu. “Ketika saya mengatakan tidak, ia kelihatannya kaget”.
Setelah Ibnu Sutowo dipecat, Pertamina melakukan ekspor dan impor minyak di pertengahan tahun 80-an melalui Perta Oil Marketing dan Permindo Oil Trading, dua perusahaan di mana Tommy dan Bambang memiki saham. Menurut seorang pejabat senior di pemerintahan Habibie, dua perusahaan tersebut menerima komisi sekitar $ 30-35 sen per barrel.
Di tahun fiskal pertama tahun 1997-1998, kedua perusahaan itu menjual rata-rata 500.000 barrel per hari, dengan komisi lebih dari $ 50 juta per tahun. Menurut Subroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi: “Pertamina sebenarnya bisa mengekspor langsung. Dua perusahaan itu sebenarnya tidak dibutuhkan”.
Selanjutnya, seorang mantan mitra bisnis Tommy dan Bambang mengatakan bahwa ‘mark up’ tidak resmi dalam ekspor dan impor minyak telah memberikan dua perusahaan itu sekitar $ 200 juta per tahun selama tahun 1980-an ketika harga minyak bumi tinggi, dan sekitar separuhnya di tahun 1990an.
Keluarga Suharto juga mendapatkan kontrak-kontrak Pertamina untuk asuransi, keamanan, suplai makanan dan jasa-jasa lainnya –170 kontrak secara keseluruhan. Tahun lalu, ketika Suharto jatuh, Pertamina membatalkan banyak kontrak-kontrak tersebut dan mengumumkan bahwa Pertamina berhasil menghemat $ 99 juta per tahun karenanya. Seorang mantan mitra bisnis keluarga Suharto mengatakan: “Mereka memerah Pertamina seperti layaknya sapi”.
Salah satu penghasil uang utama bagi Suharto adalah PT. Nusantara Ampera Bakti, atau Nusamba, didirikan tahun 1981 oleh tiga yayasan Suharto dengan modal $ 1,5 juta bersama Bob Hasan dan Sigit Suharto (masing-masing memperoleh saham 10%).
Perusahaan ini menjadi jaringan besar dengan lebih dari 30 anak perusahaan di bidang keuangan, energi, pulp dan kertas, baja dan otomotif. Jantung Nusamba adalah saham sebesar 4,7 % pada Freeport Indonesia, sebuah perusahaan AS yang merupakan penambang emas terbesar di dunia dengan kegiatan di Papua Barat.
Tahun 1992 tiga yayasan itu memindahkan 80% sahamnya ke Bob Hasan, meskipun tidak jelas berapa banyak yang ia bayar untuk itu. Sampai kini, penyelidik dari pemerintah tidak pernah memeriksa keuangan Nusamba. OC Kaligis, ketua penasehat hukum Suharto mengatakan: “Bila ingin tahu tentang Nusamba, tanya Bob Hasan. Dalam penyelidikan Suharto, Jaksa Agung tidak pernah bertanya soal Nusamba”.
Keluarga Suharto mendapatkan uang tidak saja melalui kontrak-kontrak pemerintah, tetapi juga dari menyusahkan kehidupan orang Indonesia. Ketika Suharto ingin membangun peternakan sapi di Jawa Barat, ia merampas tanah lebih dari 751 ha yang dihuni oleh 5 desa. Menurut pemerintah, ia membayar ganti rugi sebesar $ 5.243. Beberapa penduduk mengatakan, mereka tidak memperoleh ganti rugi apapun.
Sumber : Open Your Mind
Komentar
Posting Komentar